Rabu, 16 November 2011

Catatan seorang Ibu


HARI  KETIKA AHIRNYA AKU MENANGIS


Aku tidak menangis ketika tahu bahwa aku adalah orangtua seorang anak cacat mental. Aku hanya duduk diam seribu bahasa ketika aku dan suamiku diberitahu bahwa Kristi,dua tahun,sesuai dengan kecurigaan kami adalah anak terbelakang.

“Silahkan menangis,” kata dokter itu dengan ramah.”Itu dapat mencegah masalah masalah emosi yang serius.”Kendati terancam dengan masalah masalh serius aku tidak dapat menangis,baik waktu itu maupun selama bulan bulan berikutnya.

Ketika Kristi cukup matang untung bersekolah,kami mendaftarkannya ke sebuah Taman Kanak Kanak pada usia 7 tahun.Akan sangat melegakan andaikata aku menangis pada hari ketika aku meninggalkannya di ruangan yang oenuh dengan anak anka lima tahun yang sangat bersemangat dan penuh keyakian.Selama itu Kristi selalu bermain sendirian,tetapi saat ini,ketika ia menajadi anak “Berbeda” diantara 20 anak lainnya,bukan tidak mungkin ia akan merasakan kesepian paling beat selama hidupnya.

Ternyata sesuatu yang positif terjadii pada Kristi disekolahnya,juga pada teman teman kelasnya.Kendati berlomba meraih prestasi prestasi masing masing,teman teman Kristi selalu bersedia memberikan pu kata yang harus diejanya lebih mudh jian kepadanya juga.”Kristi bisa mengeja dengan benar hari ini.”Tidak seorang pun bertindak usil dengan menambahkan bahwa kata yang harus diejanya lebih mudah daripada untuk anak anak lain.

Selama tahun keduanya disekolah,ia menghadapi sebuah pengalaman yang sangat traumatis.Peristiwa penting dalam smeater itu adalah perlombaan dalam bidang keterampilan music dan olahraga. Kristi terbelakang dalam music dan olahraga. Aku dan suamiku juga takut menghadapi hari itu.

Pada hari berlangsungnya acara itu,Kristi berpura pura sakit.Mengingat kekurangannya,aku pun ingin membiarkannya tetap di rumah.Mengapa aku harus membiarkannya tetap dirumah. Mengapa aku harus membiarkan Kristi dipermalukan diaula dihadapan para orangtua,murid dan guru guru ? kelihatannya solusi yang sederhana adalah embiarkannya tetap dirumah.Tidak mengikuti acara ini bukanlah suatu masalah. Tetapi hati nuraniku tidak membiarkan aku menyerah begitu mudah. Maka aku dengan lembut membujuk Kristi untuk bersiap siap berangkat dengan bus sekolah,sementara aku sendiri masih bimbang dengan keputusanku.

Karena aku baru saja memaksa putrid ku pergi kesekolah,kini aku harus memaksakan diri pergi ke acara itu. Tampaknya kecil kemungkinan bagi kelompok Kristi untuk tampil dengan baik. Ketika ahirnya giliran mereka tiba, aku tahu mengapa Kristi merasa ceemas. Seperti telah dikatakan,kelasnya dibagi menjadi beberapa kelompok. Dengan tenaganya yang lemah dan reaksinya yang lambat serta kikuk, ia pasti akan menjadi penghalang bagi kelompoknya.
Untuk lomba yang lain penampilan mereka cukup baik,sampai tiba saatnya untuk lomba balap karug.Sekarang tiap anak harus masuk ke dalam karung dalam posisi berdiri,kemudian melompat lompat sampai ke garis tujuan dan kembali lagi ke tempat semula.

Aku mengawasi Kristi berdiri dibagian ujung kelompoknya,tampak panic sekali. Tetapi begitu tiba giliran Kristi untuk beraksi ,kelompok itu melkukan perubahan posisi.Anak laki laki paling jangkung dalam barisan itu melangkah ke belakang Kristi lalu memegang pinggangnya. Dua anak laki laki lain berdiri agak didepannya. Di saaat pemain sebelu Kristi keluar dari karung,kedua anak laki laki tadi mengambil karung dari pemain te,kemudian membukanya terdahulu, sementara si jangkung mengangkat Kristi dan memasukkannya ke dalam karung. Seorang anak perempuan didepan Kristi memegang tangannya an menahannya sebentar samapi Kristi mlanjutnya melompatlah ia dengan tersenyum bangga.

Sementara para guru,para murid , dan para orang tua bersorak memuji,aku tersungkur bersujud,berterimakasih kepada Tuha atas orang orang yang ramah dan penuh pengertian dalam hidup ini,yang memungkinkan putriku yang cacat merasa seperti anak anka lain.Kemudian ahirnya aku menangis. 

by Meg Hill dikutip  dari "Chicken Soup for the Unsinkable Soul"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar